Ontologi adalah cabang filsafat yang kajiannya “paling umum”. Sebagai kajian yang paling umum, telaah ontologis akan mempertanyakan, apa itu “ada”? Apa saja “yang ada”? Apa makna ada? Apa saja struktur dari “yang ada”? Dalam ontologi juga dipertanyakan, kenapa “yang tiada” tidak bisa didefinisikan?
Bukan hanya tentang hakikat “ada” dan “yang ada”, ontologi juga akan
membahas pernak-pernik dalam sesuatu yang kita anggap “ada”, sampai ke keadaan
bermula “yang ada” itu, yakni pra-ada. Setelah mendapati struktur paling dasar
dari “yang ada”, ontologi kemudian akan membawa kembali “yang ada” itu kepada
puncak kemenjadiannya. Inilah yang menjadi kajian ontologi, yakni kajian tentang
“yang ada” sebagai kenyataan yang sebenarnya; pembicaraan tantang hakikat dan
struktur “yang ada”.
Tidak usah risaukan apa sebenarnya maksud dari “yang ada”. Karena yang
dimaksudkan “yang ada” itu adalah dalam pengertian yang sederhana. Apakah Tuhan
Ada? Apakah alam semesta ada? Apakah manusia ada? Dan keber-ada-an yang
lainnya. Singkatnya, semua yang dianggap “ada”.
Penelaahan secara ontologis, adalah beranjak dari cara berpikir filsafat, yakni berpikir secara
mendalam, menyeluruh, dan spekulatif-sistematis. Seperti Rene Descartes (1596—1650 M) yang mengatakan Cogito ergo
sum (Aku berpikir, karena itu aku ada), sebagai hasil dari penjelajahan
ontologisnya. Bagi filsuf dan matematikawan Prancis tersebut, sekalipun kita
meragukan segala hal, tapi tetap “ada” yang pasti, itulah aku yang berpikir dan
meragukan itu. Jadi, bagi Descartes, bermulanya pengetahuan tentang segala
sesuatu “yang ada”, sekaligus memaknai “ada”, adalah pikiran manusia
Berbeda dengan Descartes yang memulai “yang ada” dari pikiran, John Locke
(1632—1704 M) seorang filosof Inggris malah menganggap semua pengetahuan
tentang “yang ada” adalah berasal dari pengalaman. Bagi Locke—meskipun teori
pengetahuannya mengakui persepsi yang merupakan hasil kerja pikiran—tidak ada
pengetahuan tentang apapun mendahului pengalaman.
Ontologi sebenarnya cabang filsafat yang paling tua. Karena itu, jauh
sebelum Descartes dan Locke serta filosof modern lainnya, telaah ontologis juga
didapati pada kajian filsafat Yunani Kuno. Seperti yang dilakukan oleh Thales,
seorang filsuf Yunani, setelah mengamati alam sekelilingnya, ia lantas
berkesimpulan bahwa segala sesuatu di alam ini berasal dari air. Pandangan
Thales kemudian dibantah oleh muridnya Anaximandros (610—547 SM). Bagi
Anaximandros “yang ada” sebagai struktur dasar alam semesta bukanlah air, tapi “Apeiron”.
Apeiron adalah sesuatu yang tidak berhingga. Segala suatu bermula dari apeiron
dan kembali ke apeiron, jelas Anaximandros. Penjelasan mengenai apeiron
pun tidak dapat diterima oleh Anaximenes (585—528 SM), bagi filosof alam
Miletos yang terakhir ini, asal segala sesuatu adalah udara. Dan, masih banyak
lagi penjelasan mengenai hakikat dan struktur alam semesta di masa Yunani Kuno.
Filsafat Islam juga sama, pembahasan ontologis juga menarik perhatian
filosof muslim. Seperti Ibnu Arabi yang menjelaskan bahwa kemenjadian semesta
bermula dari Allah Swt. yang menjadikan (كوّن) semua
“pengada” (كائنات) dengan kata perintah “mengadalah!”
(كن). “Tidak ada ‘adaan’ (موجود) kecuali
keluar dari esensi kata perintah tersebut yang tersembunyi (المكنون). Tak ada kata
yang tersembunyi (المكنون), kecuali muncul dari rahasia kata
perintah (كن) itu yang terjaga (المصون).” Selain tentang alam semesta, filosof
muslim lain seperti Al-Ghazali (450—505 H) juga menelaah ontologis tentang
manusia. Al-Ghazali menguraikan bahwa hakikat manusia adalah “substansi
immaterial yang berdiri sendiri, bersifat ilahi (berasal dari alam al-amr),
tidak bertempat di badan, bersifat sederhana (basthat), mempunyai
kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak qadim), serta
bersifat kekal pada dirinya”.
Lagi-lagi kita tidak perlu merisaukan hasil penelaahan ontologis para
filosof di atas. Bahkan, kita boleh setuju atau berbeda pandangan dengan
mereka. Yang terpenting untuk diketahui adalah, bahwa masing-masing contoh yang
dikemukan memiliki prinsip pemikiran yang sama, yaitu: Baik alam semesta maupun
manusia memiliki hakikat atau identitas esensial yang menyebabkan keduanya menjadi
“ada”, dan berbeda dari “yang ada” lainnya. Untuk mengetahui hakikat dan
identitas esensial tersebut, segala “yang ada” mesti ditarik ke dimensi yang
paling dasar, bahkan sampai ke pra-ada.
Perlu diketahui, sebelum istilah ontologi dikenal, kajian tentang
keber-ada-an (being) atau eksistensi (existence) termasuk dalam proto
philosophia (filsafat pertama). Proto philosophia merupakan istilah
yang gunakan oleh Aristotle (384-322 SM), yang ia maksudkan sebagai the
studi of Being as Being (studi tentang “ada” sebagai “yang ada”). Maksud
studi tentang “ada” sebagai “ yang ada”, berarti upaya menemukan hakikat
sesuatu yang dianggap “ada”. Tentang “ada” dalam proto philosophia
(filsafat pertama), merupakan kajian yang sifatnya tidak bisa disentuh secara
indrawi, dibedakan dengan kajian tentang “ada” yang kongket bisa diindra.
Ketika karya-karya Aristotle disunting oleh Andronicus Rhodius, kajian
dalam proto philosophia (filsafat pertama) dikelompokan menjadi rumpun metaphisyca,
yakni kajian tentang ada yang tidak bisa disentuh secara indrawi. Sedangkan
yang kongkrit bisa diindra, menjadi rumpun fisika.
Pada tahun 1636 M, Rudolph Goclenius seorang filosof Jerman, mengemukakan
istilah ontologi (ontologia) yang ia paralelkan dengan metafisika, yakni
teori tentang ada yang keber-ada-an itu dibalik fisika. Tak heran, dalam
beberapa literatur filsafat, menganggap ontologi adalah istilah lain dari
metafisika. Namun, ada juga yang meletakkan ontologi sebagai cabang metafisika
yang bersifat umum, yang dibedakan dengan kosmologi, psikologi, dan
antropologi, sebagai metafisika khusus.
Adapun istilah ontologi secara leksikal, senantiasa dikembalikan ke bahasa
Yunani; on, ontos (ada, keberaadaan) dan logos (studi atau
pembicaraan tentang), jadi ontologi berarti membicarakan tentang “yang ada”.
Tentang “yang ada” di sini, adalah dalam pengertiannya yang sederhana: segala
sesuatu yang dianggap ada. Yang terpenting, “ada” yang ingin ditemukan dalam
kajian ontologi merupakan ultimate reality, boleh jadi berdimensi
indrawi maupun yang abstrak.
Dalam pengertiannya yang sederhana, ontologi berarti penyelidikan tentang
segala sesuatu “yang ada” sebagaimana adanya. Dalam perspektif ontologis,
segala sesuatu “yang ada” memiliki hakikat (kenyataan yang sebenarnya) dan
struktur kemenjadian. Hakikat dan struktur itu yang kemudian membedakan antara
“yang ada” satu dengan “yang ada” lainnya.
Dalam kajian filsafat ilmu, telaah ontologis menjadi sangat penting. Karena
akan difungsikan untuk menjawab pertanyaan tentang, apa itu “obyek” yang akan
ditelaah? Apa yang menjadi hakikat suatu obyek? Apa saja yang menjadi struktur
suatu obyek? Apa yang menjadi pembeda antara suatu obyek dengan obyek lainnya?
Bagaimana hubungan antara obyek yang dikaji dengan subyek yang mengkaji
(manusia), dari aspek daya tangkap si subyek, seperti berpikir, merasa dan
mengindra?
Jadi, jika kita melakukan telaah ontologis terhadap “ilmu hukum Islam”,
maka yang akan dicari jawabannya adalah,
- Apa itu hukum Islam?
- Apa saja yang menjadi struktur atau bangunan hukum Islam?
- Apakah pengetahuan tentang hukum Islam bisa dikatakan sebagai ilmu? Jika jawabanya “ya”, maka
- Apa yang membedakan ilmu hukum Islam dengan ilmu-ilmu lainnya?
- Bagaimana hubungan antara hukum Islam sebagai obyek yang dikaji, dengan kemampuan memahami yang dimiliki oleh subyek yang mengkaji?
- Sampai di mana batas penjelajahan ilmu hukum Islam?