Trending

Mitra Kami

Mengenal Ontologi Hukum Islam

Mengenal Ontologi Hukum Islam


Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Sumatera Utara, Medan 

Ontologi adalah cabang filsafat yang kajiannya “paling umum”. Sebagai kajian yang paling umum, telaah ontologis akan mempertanyakan, apa itu “ada”? Apa saja “yang ada”? Apa makna ada? Apa saja struktur dari “yang ada”? Dalam ontologi juga dipertanyakan, kenapa “yang tiada” tidak bisa didefinisikan?

Bukan hanya tentang hakikat “ada” dan “yang ada”, ontologi juga akan membahas pernak-pernik dalam sesuatu yang kita anggap “ada”, sampai ke keadaan bermula “yang ada” itu, yakni pra-ada. Setelah mendapati struktur paling dasar dari “yang ada”, ontologi kemudian akan membawa kembali “yang ada” itu kepada puncak kemenjadiannya. Inilah yang menjadi kajian ontologi, yakni kajian tentang “yang ada” sebagai kenyataan yang sebenarnya; pembicaraan tantang hakikat dan struktur “yang ada”.

Tidak usah risaukan apa sebenarnya maksud dari “yang ada”. Karena yang dimaksudkan “yang ada” itu adalah dalam pengertian yang sederhana. Apakah Tuhan Ada? Apakah alam semesta ada? Apakah manusia ada? Dan keber-ada-an yang lainnya. Singkatnya, semua yang dianggap “ada”.

Penelaahan secara ontologis, adalah beranjak dari cara berpikir filsafat, yakni berpikir secara mendalam, menyeluruh, dan spekulatif-sistematis. Seperti Rene Descartes  (1596—1650 M) yang mengatakan Cogito ergo sum (Aku berpikir, karena itu aku ada), sebagai hasil dari penjelajahan ontologisnya. Bagi filsuf dan matematikawan Prancis tersebut, sekalipun kita meragukan segala hal, tapi tetap “ada” yang pasti, itulah aku yang berpikir dan meragukan itu. Jadi, bagi Descartes, bermulanya pengetahuan tentang segala sesuatu “yang ada”, sekaligus memaknai “ada”, adalah pikiran manusia

Berbeda dengan Descartes yang memulai “yang ada” dari pikiran, John Locke (1632—1704 M) seorang filosof Inggris malah menganggap semua pengetahuan tentang “yang ada” adalah berasal dari pengalaman. Bagi Locke—meskipun teori pengetahuannya mengakui persepsi yang merupakan hasil kerja pikiran—tidak ada pengetahuan tentang apapun mendahului pengalaman.

Ontologi sebenarnya cabang filsafat yang paling tua. Karena itu, jauh sebelum Descartes dan Locke serta filosof modern lainnya, telaah ontologis juga didapati pada kajian filsafat Yunani Kuno. Seperti yang dilakukan oleh Thales, seorang filsuf Yunani, setelah mengamati alam sekelilingnya, ia lantas berkesimpulan bahwa segala sesuatu di alam ini berasal dari air. Pandangan Thales kemudian dibantah oleh muridnya Anaximandros (610—547 SM). Bagi Anaximandros “yang ada” sebagai struktur dasar alam semesta bukanlah air, tapi “Apeiron”. Apeiron adalah sesuatu yang tidak berhingga. Segala suatu bermula dari apeiron dan kembali ke apeiron, jelas Anaximandros. Penjelasan mengenai apeiron pun tidak dapat diterima oleh Anaximenes (585—528 SM), bagi filosof alam Miletos yang terakhir ini, asal segala sesuatu adalah udara. Dan, masih banyak lagi penjelasan mengenai hakikat dan struktur alam semesta di masa Yunani Kuno.

Filsafat Islam juga sama, pembahasan ontologis juga menarik perhatian filosof muslim. Seperti Ibnu Arabi yang menjelaskan bahwa kemenjadian semesta bermula dari Allah Swt. yang menjadikan (كوّن) semua “pengada” (كائنات) dengan kata perintah “mengadalah!” (كن). “Tidak ada ‘adaan’ (موجود) kecuali keluar dari esensi kata perintah tersebut yang tersembunyi (المكنون). Tak ada kata yang tersembunyi (المكنون), kecuali muncul dari rahasia kata perintah (كن) itu yang terjaga (المصون).”  Selain tentang alam semesta, filosof muslim lain seperti Al-Ghazali (450—505 H) juga menelaah ontologis tentang manusia. Al-Ghazali menguraikan bahwa hakikat manusia adalah “substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat ilahi (berasal dari alam al-amr), tidak bertempat di badan, bersifat sederhana (basthat), mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak qadim), serta bersifat kekal pada dirinya”.

Lagi-lagi kita tidak perlu merisaukan hasil penelaahan ontologis para filosof di atas. Bahkan, kita boleh setuju atau berbeda pandangan dengan mereka. Yang terpenting untuk diketahui adalah, bahwa masing-masing contoh yang dikemukan memiliki prinsip pemikiran yang sama, yaitu: Baik alam semesta maupun manusia memiliki hakikat atau identitas esensial yang menyebabkan keduanya menjadi “ada”, dan berbeda dari “yang ada” lainnya. Untuk mengetahui hakikat dan identitas esensial tersebut, segala “yang ada” mesti ditarik ke dimensi yang paling dasar, bahkan sampai ke pra-ada.

Perlu diketahui, sebelum istilah ontologi dikenal, kajian tentang keber-ada-an (being) atau eksistensi (existence) termasuk dalam proto philosophia (filsafat pertama). Proto philosophia merupakan istilah yang gunakan oleh Aristotle (384-322 SM), yang ia maksudkan sebagai the studi of Being as Being (studi tentang “ada” sebagai “yang ada”). Maksud studi tentang “ada” sebagai “ yang ada”, berarti upaya menemukan hakikat sesuatu yang dianggap “ada”. Tentang “ada” dalam proto philosophia (filsafat pertama), merupakan kajian yang sifatnya tidak bisa disentuh secara indrawi, dibedakan dengan kajian tentang “ada” yang kongket bisa diindra.

Ketika karya-karya Aristotle disunting oleh Andronicus Rhodius, kajian dalam proto philosophia (filsafat pertama) dikelompokan menjadi rumpun metaphisyca, yakni kajian tentang ada yang tidak bisa disentuh secara indrawi. Sedangkan yang kongkrit bisa diindra, menjadi rumpun fisika.

Pada tahun 1636 M, Rudolph Goclenius seorang filosof Jerman, mengemukakan istilah ontologi (ontologia) yang ia paralelkan dengan metafisika, yakni teori tentang ada yang keber-ada-an itu dibalik fisika. Tak heran, dalam beberapa literatur filsafat, menganggap ontologi adalah istilah lain dari metafisika. Namun, ada juga yang meletakkan ontologi sebagai cabang metafisika yang bersifat umum, yang dibedakan dengan kosmologi, psikologi, dan antropologi, sebagai metafisika khusus.

Adapun istilah ontologi secara leksikal, senantiasa dikembalikan ke bahasa Yunani; on, ontos (ada, keberaadaan) dan logos (studi atau pembicaraan tentang), jadi ontologi berarti membicarakan tentang “yang ada”. Tentang “yang ada” di sini, adalah dalam pengertiannya yang sederhana: segala sesuatu yang dianggap ada. Yang terpenting, “ada” yang ingin ditemukan dalam kajian ontologi merupakan ultimate reality, boleh jadi berdimensi indrawi maupun yang abstrak.

Dalam pengertiannya yang sederhana, ontologi berarti penyelidikan tentang segala sesuatu “yang ada” sebagaimana adanya. Dalam perspektif ontologis, segala sesuatu “yang ada” memiliki hakikat (kenyataan yang sebenarnya) dan struktur kemenjadian. Hakikat dan struktur itu yang kemudian membedakan antara “yang ada” satu dengan “yang ada” lainnya.

Dalam kajian filsafat ilmu, telaah ontologis menjadi sangat penting. Karena akan difungsikan untuk menjawab pertanyaan tentang, apa itu “obyek” yang akan ditelaah? Apa yang menjadi hakikat suatu obyek? Apa saja yang menjadi struktur suatu obyek? Apa yang menjadi pembeda antara suatu obyek dengan obyek lainnya? Bagaimana hubungan antara obyek yang dikaji dengan subyek yang mengkaji (manusia), dari aspek daya tangkap si subyek, seperti berpikir, merasa dan mengindra?

Jadi, jika kita melakukan telaah ontologis terhadap “ilmu hukum Islam”, maka yang akan dicari jawabannya adalah,

  1. Apa itu hukum Islam?
  2. Apa saja yang menjadi struktur atau bangunan hukum Islam?
  3. Apakah pengetahuan tentang hukum Islam bisa dikatakan sebagai ilmu? Jika jawabanya “ya”, maka
  4. Apa yang membedakan ilmu hukum Islam dengan ilmu-ilmu lainnya?
  5. Bagaimana hubungan antara hukum Islam sebagai obyek yang dikaji, dengan kemampuan memahami yang dimiliki oleh subyek yang mengkaji?
  6. Sampai di mana batas penjelajahan ilmu hukum Islam?

Baca Juga:

Memahami Hubungan Filsafat dengan Hukum Islam

Maqasid Project adalah sebuah gerakan yang digagas oleh cendikiawan dan aktivis muda Muslim untuk mengkampanyekan tata laku kehidupan alternatif berbasis Maqasid al-Syariah. Komunitas ini disatukan oleh ghirah yang sama, untuk ikut serta dalam membangun dunia di atas pondasi kesetaraan (al-Musawah), keadilan (al-'Adalah), dan kemaslahatan (al-Mashlahah). Kami memulai kerja ini dari Sumatera Utara, Indonesia, lalu saling terhubung secara kemitraan dengan berbagai komunitas dan individu lintas wilayah.

Posting Komentar