Trending

Mitra Kami

Memahami Hubungan Filsafat dengan Hukum Islam

Memahami Hubungan Filsafat dengan Hukum Islam

 



(Direktur Eksekutif Maqasid Project)

Filsafat dan Hukum Islam: Penjelasan Konsep

Sudah menjadi keharusan dalam kajian filsafat, bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah clarifiying concepts (memperjelas konsep) (Faiz, 2021: 105). Konsep yang bersifat “laten” tentu membutuhkan perangkat agar konsep itu termanifestasi dalam perundingan filsafat; manifestasi konseptual disebut dengan term. Dengan kata lain, “term” mewujudkan “konsep” itu dalam tataran rill bahasa (Maarif, 2016: 40).

Pada bagian pendahuluan ini, penulis akan menguraikan lebih dahulu ihwal term filsafat, lalu disusul dengan pertanyaan bagaimana konsepnya? Kemudian, menjelaskan term “hukum Islam”, disusul pula dengan pertanyaan, bagaimana konsepnya?

Pertama, mengenai “filsafat”. Penjelasan tentang term “filsafat” agaknya tak usah lagi dipanjang-panjangkan pembahasannya pada bagian ini. Penulis sederhanakan saja definisinya sebagai aktivitas, yakni ber-filsafat. Berfilsafat itu, berarti berpikir, berefleksi, dan bermenung (kontemplasi) tentang “apa pun”, tujuannya adalah kebenaran dan kebijaksanaan. Kalau orang mulai berfilsafat, dengan sendirinya akan mengerti: apa itu filsafat?

Kedua, ihwal hukum Islam. Saat ini, sudah banyak kepustakaan yang membahas mengenai term “hukum Islam”, tapi hampir keseluruhannya mengatakan, bahwa sebenarnya term hukum Islam tidak didapati “ekuivalensi-nya” dalam al-Quran dan al-Sunnah, serta tidak dipakai secara operasional dalam pustaka Islam klasik (Nasution, dkk., 2022: 21; Turnip, 2021: 2; Djamil, 1997: 11). Lalu, bagaimana menjelaskan konsep hukum Islam?

Diakui secara jujur oleh para ahli hukum Islam di Indonesia, memang sulit untuk memutuskan batasan makna dari hukum Islam (Arfa & Nas, 2021: 43). Karena itu, untuk menyederhanakan, penulis mengutip penjelasan M. Yasir Nasution (2010: 33), bahwa term hukum Islam mengandung (memiliki konsep) pengertian yang sangat luas, “meliputi nilai-nilai (al-syariah); norma-norma yang dikategorisasikan (al-hukm al-syar’iy); kaidah-kaidah penerapan norma-norma itu (fiqh); dan perundang-undangan formal (qonun), yang besumber dari al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.”. Karena itu, perundingan mengenai hukum Islam, berarti merundingkan keempat konsep tersebut, atau sebagiannya saja.

Hubungan Filsafat dengan Hukum Islam

Sampai saat ini, secara tipologis, ada 3 (tiga) kelompok masyarakat muslim dalam kaitan penerimaan mereka terhadap filsafat sebagai bagian studi hukum Islam. Pertama, kelompok muslim yang menolak filsafat secara total; kedua, adalah kebalikan dari kelompok pertama, yakni menerima filsafat secara total; dan ketiga, kelompok muslim yang menerima filsafat secara kritis.

Mengenai kelompok pertama, yakni kelompok muslim yang menolak filsafat secara total, berpandangan bahwa orang-orang yang belajar filsafat sebagai ahl al-ahwa wa al-bida’ (orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan pelaku bid’ah), pendeknya golongan yang menyimpang dari ajaran Islam. Bukan tanpa alasan, susunan argumen yang dipakai oleh pandangan yang menolak sepenuhnya filsafat adalah karena istilah filsafat bukanlah berasal dari bahasa Arab. Tidak satupun dalam pustaka Islam zaman salaf al-salih ditemukan istilah filsafat.

Kelompok pertama ini melanjutkan, bahwa pada kenyataannya filsafat datang dari bangsa Yunani, bangsa yang dianggap sebagai penyembah dewa-dewa mitologis. Sehingga filsafat adalah pemikiran asing yang bersumber dari luar Islam dan kaum muslimin, harus ditolak sepenuhnya.

Sedangkan kelompok kedua, kebalikan dari kelompok pertama, yakni menerima filsafat secara total. Pandangan kelompok ini bermula dari argumen bahwa al-dina huwa al-‘aqlu wa la dina liman la ‘aqla lah (agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki akal). Filsafat yang selalu meluaskan peran akal seluas-luasnya, dianggap sangat relevan dengan Islam berdasarkan konsideran tersebut. Dengan demikian, kelompok ini selalu mengukur validitas dan kebenaran hukum Islam lewat pertimbangan akal semata.

Selanjutnya, kelompok yang ketiga, yakni kelompok muslim yang menerima filsafat secara kritis dalam hubungannya terhadap studi Islam. Menerima secara kritis berarti kelompok yang sudah mampu memahami perbedaan antara filsafat sebagai produk atau hasil berpikir filosofis tertentu, yang berbeda dengan filsafat sebagai aktivitas berpikir, berefleksi, dan bermenung (kontemplasi) tentang “apa pun”.

Memang, filsafat selalu berurusan dengan manusia yang berpikir, dus berkaitan dengan produk pikiran dan aktivitas berpikir manusia tersebut. Sebagai contoh, kita sering menemukan istilah-istilah dalam dalam filsafat, seperti komunisme, sosialisme, liberalisme, dan sebagainya. Bagi kelompok pertama, tentu aliran-aliran (ideologi) semacam ini menjadi alasan mereka menolak filsafat, sebab bertentangan dengan ajaran Islam. Sayangnya, kelompok pertama ini, mereduksi filsafat sebagai produk pikiran semata, dan tidak mempertimbangkan filsafat sebagai aktivitas berpikir. Sedangkan kelompok kedua, malah mencoba merangkaikan istilah-istilah tersebut dengan Islam, kita sering mendengar atau membaca istilah-istilah seperti Islam Liberal, Islam Sosialis dan sebagainya. Adapun kelompok ketiga, tetap mengunakan filsafat, tapi sebagai aktivitas berpikir; juga memperhatikan pikiran-pikiran yang sejalan dengan ajaran Islam atau logika nubuwwah.

Kelompok ketiga ini, menggunakan filsafat sebagai aktivitas berpikir namun tetap berpegang teguh pada al-Quran dan al-Sunnah. Bahkan kelompok ketiga inilah yang telah berhasil mewariskan “pikiran filosofis yang orisinal” sebagai pusaka umat muslim saat ini. Kelompok ketiga inilah yang berhasil mendirikan bangunan filosofis hukum Islam yang islami.

Konon dikatakan oleh sementara orientalis dan beberapa sarjana barat, bahwa umat Islam tidak mempunyai filsafat (produk berpikir filosofis). Filsuf-filsuf Muslim hanya menyalin, atau melakukan plagiat dari filsafat Yunani.  Pandangan tersebut kemudian dibantah, setelah nyata garapan Muhammad Idris al-Syafi’i dalam Al-Risalah—bidang ushul al-fiqh pertama yang dibukukan, namun ada pendapat bahwa Ja’far al-Shadiq-lah yang pertama kali menuliskan ushul al-fiqh (Jum’ah, 2017: 34). Al-Syafi’i, sebagaimana penjelasan Musthafa Abdurraziq yang dikutip Hamka (2020: 39), adalah salah satu tokoh besar umat Islam yang berhasil mempunyai filsafat yang tumbuh dalam Islam sendiri, yang orisinal, dan bukan plagiat.

Telah diketahui, bahwa Al-Syafi’i merupakan tokoh ternama dalam bidang hukum Islam. Karena itu, filsafat hukum Islam adalah salah satu bangunan filsafat yang tumbuh dan berkembang dalam kajian Islam itu sendiri, tidak membebek pada filsafat barat sebagaimana yang dituduhkan.

Untuk menjelaskan bangunan filosofis yang ditawarkan al-Syafi’i tersebut, bukan di sini tempatnya. Bagi pembaca yang sudah mengenal standar berpikir ala filsafat, silahkan rujuk langsung kepada karya Al-Syafi’i yakni Al-Risalah. Buah pena Al-Syafi’i tersebut tidak ditemukan acuannya dalam kajian filsafat mana pun, termasuk di Yunani sendiri, artinya pikiran filosofis Al-Syafi’i tumbuh dan kembang dalam Islam itu sendiri.

Alhasil, hubungan filsafat dengan hukum Islam itu dapat dikatakan memiliki hubungan yang erat. Hubungan tersebut paralel dengan hubungan Islam dan akal manusia. Maksudnya, hubungan filsafat (akal) dan hukum Islam (agama) bukan soal porsi, tapi soal ketundukan: apakah akal yang tunduk terhadap Islam, atau ajaran Islam yang harus tunduk terhadap akal?

Bagi muslim, tentu saja ketundukan terhadap ajaran Islam adalah bersifat mutlak, dus akal harus tunduk terhadap ajaran Islam. Namun, bukan berarti akal itu dimatikan, tetap gunakan akal seluas-luasnya dan berpikir sedalam-dalamnya dalam rangka memahami Islam, sehingga lahirlah hukum yang Islami. Boleh jadi, orang yang menolak filsafat (peran akal) dan mengaku tunduk pada Islam, malah berhukum secara serampangan atau tidak Islami. Sekali lagi, hubungan filsafat (akal) dan hukum Islam (agama) bukan soal porsi penggunaan, tapi soal ketundukan: Apakah Islam harus dipaksa tunduk terhadap akal manusia, atau akal-lah yang tunduk terhadap ajaran Islam?

Maqasid Project adalah sebuah gerakan yang digagas oleh cendikiawan dan aktivis muda Muslim untuk mengkampanyekan tata laku kehidupan alternatif berbasis Maqasid al-Syariah. Komunitas ini disatukan oleh ghirah yang sama, untuk ikut serta dalam membangun dunia di atas pondasi kesetaraan (al-Musawah), keadilan (al-'Adalah), dan kemaslahatan (al-Mashlahah). Kami memulai kerja ini dari Sumatera Utara, Indonesia, lalu saling terhubung secara kemitraan dengan berbagai komunitas dan individu lintas wilayah.

Posting Komentar