(Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kota Medan)
Wacana argumentatif tentang kewarisan baik yang
terdapat dalam Alquran maupun hadis sebenarnya bersifat sederhana dan mudah
dipahami. Hanya saja, tidak semua permasalahan kewarisan memiliki dasar hukum
yang tegas dalam kedua sumber hukum Islam tersebut.
Untuk permasalahan kewarisan yang tidak dijelaskan
secara rinci biasanya akan menimbulkan interpretasi dan perumusan dari kalangan
mujtahid dengan daya nalar yang tidak bebas dari pengaruh budaya lokal dan
lingkungannya—dalam hal ini diasumsikan budaya Arab—dalam kurun waktu tertentu.
Oleh karena, itu umat yang hidup dalam budaya nonArab dalam kurun waktu yang
berbeda terkadang mengalami kesulitan dalam menjalankannya.
Salah satu permasalahan terkait, adalah tentang harta
benda yayasan, apakah ia merupakan harta waris pendiri dan pengurus yayasan
atau merupakan harta yang terlepas dari kepemilikan pendiri dan pengurus
yayasan?
Harta Benda Yayasan
Yayasan, sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, adalah “badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota”.
Berdasarkan pengertian itu, maka status badan hukum
yayasan yang semula berdasarkan sistem terbuka (het Open system van Rechtspersonen), beralih menjadi sistem
tertutup (de Gesloten system van
Rechtspersonen).
Artinya, sekarang yayasan menjadi badan hukum karena
undang-undang atau berdasarkan undang-undang, bukan berdasarkan sistem terbuka,
yang berlandaskan pada kebiasaan, doktrin dan ditunjang oleh yurisprudensi.
Konsekuensi yayasan sebagai badan hukum, berlaku pemisahan
antara harta kekayaan yayasan dengan harta pribadi; demikian pula hak dan
kewajiban serta tanggung jawabnya. Kekayaan yang terpisah itu diperlukan untuk
mencapai tujuan dan merupakan sumber dari segala hubungan-hubungan hukum.
Pendiri yayasan memisahkan sebagian harta kekayaannya sebagai kekayaan awal
yayasan. Dengan demikian, tidak dibenarkan untuk tujuan komersil atau
kepentingan pribadi.
Dapat dipahami, elemen utama yayasan adalah harta
kekayaan yayasan dipisahkan dari kekayaan pendirinya. Perbuatan hukum
memisahkan mengandung makna ada kesukarelaan dari pendiri untuk melepaskan
suatu kekayaan. Kekayaan yang dipisahkan itu kemudian berubah statusnya menjadi
milik badan hukum, yakni yayasan. Dengan demikian tidak ada orang atau badan
yang berstatus sebagai pemilik atas suatu yayasan.
Ihwal Harta Warisan
Dalam literatur fikih, para fuqoha, secara umum tidak
membedakan harta warisan dengan tirkah.
Menurut Abu Bakr bin Muhammad Syata ad-Dimyati,
والتركة
ما خلفه الميت من مال أو حق، ويتعلق بها خمسة حقوق مرتبة، أولها: الحق المتعلق
بعين التركة كالزكاة والجناية والرهن، وثانيها: مؤن التجهيز بالمعروف، وثالثها:
الديون المرسلة في الذمة، ورابعها: الوصايا بالثلث فما دونه لأجنبي، وخامسها:
الإرث
Dan
tirkah adalah segala sesuatu yang ditinggalkan mayit baik berupa harta maupun
hak, dan melekat pada harta maupun hak tersebut lima hal, yaitu pertama hak
yang berhubungan dengan benda tirkah seperti zakat, tebusan tindak pidana, dan
gadai. Kedua biaya penyelenggaraan jenazah, ketiga membayar utang yang menjadi
tanggungan mayit, keempat menunaikan wasiat pewaris pada sepertiga hartanya
atau kurang dari sepertiga, kelima membagi harta peninggalan kepada ahli waris
(Abu Bakar bin Muhammad Syata ad-Dimyati al-Misri, I’anat at-Talibin, Juz IV,
Dar al-Salam, Kairo, 2022, hlm. 2116).
Menurut Mustafa al-Khin
التركة:
هي جميع ما يخلفه الميت بعد موته، من أموال منقولة، كالذهب والفضة وسائر النقود
والأثاث، أو غير منقولة كالأراضي والدور وغيرها. فجميع ذلك داخل في مفهوم التركة،
ويجب إعطاؤه لمن يستحقه
Tirkah
adalah segala sesuatu yang ditinggalkan mayit setelah ia meninggal dunia baik
dalam bentuk harta bergerak seperti mas, perak, uang, dan barang-barang rumah
tangga atau harta tidak bergerak seperti tanah, rumah dan lainnya. Semua harta
tersebut masuk dalam kategori tirkah yang wajib diberikan kepada para ahli
waris yang berhak.
Menariknya, kompilasi Hukum Islam membedakan
antara harta peninggalan (tirkah) dengan harta waris. Dalam ketentuan umum
pasal 171 huruf k dan l disebutkan sebagai berikut
k. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan
oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
l. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian
dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.
Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa
sesuatu dikatakan harta waris apabila memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Harta atau hak yang merupakan harta waris
tersebut adalah hak milik pewaris pada saat ia meninggal dunia
b. Harta atau hak yang merupakan harta waris
tersebut telah bersih dari segala kewajiban yang melekat padanya, seperti
pembayaran utang baik utang kepada Allah maupun kepada manusia, wasiat, dan
biaya penyelenggaraan jenazahnya
Kedudukan Harta Benda Yayasan Dalam Hukum Waris
Harta benda yayasan memiliki kedudukan hukum yang unik dan berbeda dibandingkan dengan harta warisan biasa.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yayasan adalah
badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk
mencapai tujuan tertentu, seperti di bidang sosial, keagamaan, atau
kemanusiaan. Dalam pengertian ini, yayasan tidak memiliki anggota seperti
organisasi lain, sehingga status hukum dan pengelolaan kekayaannya memiliki
kekhasan tersendiri.
Hal
utama yang membedakan harta kekayaan yayasan dengan harta waris adalah kata “dipisahkan.”
Artinya, ketika seseorang mendirikan yayasan, ia secara sukarela melepaskan
sebagian kekayaannya untuk menjadi kekayaan yayasan. Kekayaan yang telah
dipisahkan ini tidak lagi menjadi milik pribadi pendiri atau pengurus yayasan.
Sebaliknya, kekayaan tersebut menjadi milik badan hukum yayasan dan digunakan
semata-mata untuk mencapai tujuan yayasan sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan.
Konsep
“pemisahan” ini memiliki implikasi hukum yang signifikan. Harta kekayaan
yayasan tidak dapat dimiliki kembali oleh pendiri atau pengurus yayasan, bahkan
jika mereka masih hidup. Apalagi, ketika pendiri atau pengurus yayasan
meninggal dunia, harta kekayaan yayasan bukanlah harta waris pendiri atau pengurus yang
dapat diwarisi oleh para ahli warisnya. Ini adalah prinsip hukum yang
tegas dan menjadi pembeda utama antara harta yayasan dan harta pribadi pewaris.
Misalnya,
jika seorang pendiri yayasan menyumbangkan sebuah tanah kepada yayasan sebagai
kekayaan awal, maka tanah tersebut tidak lagi menjadi miliknya. Ketika pendiri
tersebut meninggal dunia, ahli warisnya tidak dapat mengklaim tanah tersebut
sebagai bagian dari warisan. Hal ini karena tanah tersebut sudah menjadi milik
yayasan secara hukum dan sepenuhnya terlepas dari kepemilikan pribadi pendiri.
Perbedaan
mendasar ini menunjukkan bahwa harta kekayaan yayasan adalah entitas hukum yang
mandiri. Ia berdiri sendiri dan tidak terkait langsung dengan kehidupan pribadi
pendiri atau pengurus yayasan. Oleh karena itu, ahli waris tidak memiliki hak
untuk mewarisi kekayaan yayasan, sebagaimana mereka berhak atas harta pribadi
pewaris.
Dengan
demikian, penting bagi masyarakat, terutama yang ingin mendirikan yayasan,
untuk memahami kedudukan hukum harta benda yayasan ini. Ketika seseorang
memutuskan untuk mendirikan yayasan dan menyerahkan sebagian kekayaannya,
keputusan tersebut bersifat permanen dan tidak dapat ditarik kembali. Hal ini
mencerminkan sifat yayasan yang didirikan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi
untuk tujuan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan yang lebih luas.
Harta
kekayaan yayasan dan harta waris memang memiliki karakteristik yang sangat
berbeda. Oleh karena itu, memahami perbedaan ini sangat penting agar tidak
terjadi salah tafsir atau konflik dalam pengelolaan kekayaan yayasan maupun
pembagian harta waris. Dengan pemahaman yang tepat, harta kekayaan yayasan
dapat terus digunakan untuk tujuan yang mulia dan memberikan manfaat yang
berkelanjutan bagi masyarakat. Wallahu ta’ala a’lam.
Baca Juga: Giat Ekonomi Syariah dalam Bingkai Hifz al-Ummah
Sumber Gambar: Mistar.id.